
Madiun dalam genggaman Pajang dan Mataram
Penaklukan Kerajaan Gagelang oleh Sultan Trenggana dari Demak pada tahun 1529, mengawali masa kekuasaan politik bercorak Islam atas wilayah Madiun. Gagelang dapat disamakan dengan Madiun sekarang. Saat ini terdapat sebuah desa yang bernama Glonggong di Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Nama desa itu boleh diduga sebagai perubahan bentuk kata dari Gagelang. Kesuksesan penaklukan Gagelang berkaitan erat dengan kefanatikan dan semangat untuk menyebarluaskan agama Islam. Latar belakang tersebut mendorong kalangan sipil Demak, seperti alim ulama, perajin, dan pedagang untuk memasuki dinas militer atau membentuk kelompok-kelompok bersenjata.
Selama hampir 40 tahun lamanya Kiai Reksa Gati menjadi pengawas dan mensyiarkan agama Islam di wilayah Madiun. Ketika Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546, timbul persaingan mengejar kekuasaan tertinggi di antara dua raja bawahan Demak, yaitu Raja Pajang, Jaka Tingkir (menantu Sultan Trenggana) dan Raja Jipang, Aria Penangsang (kemenakan Sultan Trenggana). Namun Kiai Reksa Gati tetap bersikap netral. Persaingan itu dimenangkan Raja Pajang. Selanjutnya Pajang menegakkan kekuasaan atas kerajaan-kerajaan bawahan Demak lainnya. Kerajaan bawahan atau lainnya yang menolak mengakui kekuasaan Pajang, ditaklukkan dengan kekerasan.
Pada masa kekuasaan Pajang inilah untuk pertama kalinya dibentuk pemerintahan kabupaten di wilayah Purabaya (secara kronologi, Purabaya adalah nama pertama yang digunakan untuk wilayah Kabupaten Madiun). Pada 18 Juli 1586 Sultan Pajang mengangkat adik iparnya, Pangeran Timur (putra bungsu Sultan Trenggana) sebagai Bupati Purabaya. Selain itu Bupati Purabaya juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati Mancanegara Timur (pimpinan para bupati bawahan Pajang di wilayah timur). Berakhirlah tugas Kiai Reksa Gati sebagai pengawas wilayah Madiun.
Kekuasaan Pajang atas Purabaya berakhir ketika Mataram menguasai Purabaya. Awalnya Mataram merupakan wilayah kekuasaan Pajang. Ketika kepala daerah Mataram, Ki Gede Mataram wafat, dan kemudian Sutawijaya, salah seorang putra Ki Gede Mataram, ditunjuk sebagai pengganti oleh Sultan Pajang, Mataram mulai menunjukkan sikap ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Bahkan Sutawijaya, yang mendapat gelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” dari Sultan Pajang, berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar. Senapati melakukan perlawanan terhadap Pajang, dan berhasil menduduki keraton Pajang pada tahun 1587. Sejak itu Mataram terus melakukan ekspansi ke kerajaan-kerajaan bawahan Pajang dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Berkumpulnya pasukan eks-Mancanegara Timur di Purabaya tersebut dilatarbelakangi perubahan hegemoni politik Pajang pasca wafatnya Sultan Trenggana. Menjelang runtuhnya kekuasaan Pajang, kerajaan-kerajaan di Mancanegara Timur melepaskan diri dari Pajang menjadi kerajaan merdeka. Sementara itu Mataram aktif berekspansi hingga menguasai daerah Warung (Blora). Capaian Senapati di Blora membuat Purabaya merasa terancam, sedangkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur melihatnya sebagai pangkal gerakan Senapati untuk menyerang Jawa Timur. Karena itu permintaan bantuan Bupati Purabaya kepada kerajaan-kerajaan di Jawa Timur untuk menghadang laju ekspansi, atau bahkan bila mungkin menghancurkan kekuatan Mataram, disambut baik. Terjadilah konsentrasi pasukan Jawa Timur di Madiun.
Di bawah pimpinan Retno Dumilah, pasukan gabungan Purabaya dan eks-Mancanegara Timur dapat melakukan pertempuran berlarut-larut. Namun dengan siasat yang lebih unggul, Senapati dapat mengalahkan mereka, dan Retno Dumilah menjadi tawanan.
Sebagai simbol kemenangan Mataram atas Purabaya, Senapati mengganti nama Purabaya menjadi Madiun pada 16 November 1590 . Kemudian, untuk memperkuat legitimasinya atas Madiun, Senapati melakukan perkawinan dengan Retno Dumilah. Perkawinan politik itu menyebabkan derajat kebangsawanannya terangkat ke tingkat teratas karena menikahi cucu Sultan Trenggana.
Madiun dalam Kekuasaan Belanda
Pada masa pemerintahan Mataram, Kabupaten Madiun termasuk wilayah yang setia, tetapi antipati terhadap kekuatan asing (Belanda) yang ingin menguasai Jawa. Dalam sejarah, Madiun bersimpati pada perlawanan Trunojoyo terhadap Susuhunan Amangkurat I yang bekerja sama dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie/Perhimpunan Perusahaan India Timur), dan perlawanan Untung Suropati terhadap VOC.
Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 memecah Mataram menjadi
Di tangan pemerintah kolonial Belanda, liberalisasi diberlakukan di Pulau Jawa. Modal asing memasuki Kabupaten Madiun, kebanyakan dalam sektor industri gula. Saat itu gula menjadi primadona komoditas ekspor karena harganya tinggi di pasar dunia. Kondisi ini mendorong orang-orang Eropa lainnya dari berbagai profesi datang ke Kabupaten Madiun, termasuk ke ibukota Kabupaten Madiun. Jumlah penduduk dan luas wilayah hunian di ibukota Kabupaten Madiun makin berkembang. Berbagai infrastruktur dan fasilitas
Nama Madiun sebagai Kabupaten dan Swapraja
Sejalan dengan keluarnya Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 dan Gemeente Ordonnantie (Peraturan Gemeente) pada tahun 1906, wilayah kota yang dihuni mayoritas penduduk Eropa dan telah memenuhi persyaratan tertentu, mendapat status Gemeente (kotapraja) yang setingkat dengan kabupaten. Beberapa persyaratan tersebut, antara lain memiliki wilayah yang tetap, penduduk cukup banyak, fasilitas yang dibutuhkan warga
Secara implisit pembentukan gemeente bertujuan untuk memelihara kepentingan orang Eropa, khususnya Belanda. Sebagai orang asing, mereka membutuhkan tempat yang disesuaikan dengan lingkungan asalnya dan memerlukan aturan yang khusus dalam sistem pemerintahannya. Dengan demikian gemeente dapat disebut sebagai een westerse enclave (sebuah kantong masyarakat Barat).

Pemerintahan Gemeente dipimpin Burgemeester (walikota). Namun karena jabatan Burgemeester belum dibentuk, maka pada awal berdirinya Gemeente Madiun dipimpin oleh Asisten Residen Madiun, Ir. W.M. Ingenluyff, dan dilanjutkan oleh Mr. De Maand.

Nama-nama kepala daerah Kota Madiun sejak masa Hindia Belanda sampai tahun 2010 adalah sebagai berikut:
1. Ir. W.M. Ingenluyff (Asisten Residen, 1918)
2. Mr. De Maand (Asisten Residen
3. Mr. R.A. Schotman (Burgemeester, 1927 s/d 1932)
4. Mr. Boerstra (Burgemeester, 1932)
5. Mr. Van Dijk (Burgemeester) dan Ali Sastroamidjojo (Loco Burgemeester
6. Dr. Mr. R.M. Soebroto (Syicho, 1942 s/d 1945)
7. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo (Walikota)
8. Soedibjo (Walikota
9. R. Poerbosisworo (Walikota)
10. Soepardi (Walikota)
11. R. Mochamad (Walikota, 1948 dari Divisi Siliwangi)
12. R.M. Soediono (Walikota)
13. R. Singgih (Walikota)
14. R. Moentoro (Walikota)
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo (Walikota)
16. R. Soepardi (Walikota)
17. Soemadi (Walikota)
18. Joebagjo (Walikota)
19. R. Roekito, B.A. (Walikota)
20. Drs. Imam Soenardji (Walikota,
21. Achmad Dawaki, B.A. (Walikota, 19 Januari 1974 s/d 19 Januari 1979)
22. Drs. Marsoedi (Walikota, 20 Januari 1979 s/d 20 Januari 1984)
23. Drs. Marsoedi (Walikota, 20 Januari 1984 s/d 20 Januari 1989)
24. Drs. Masdra M. Jasin (Walikota, 20 Januari 1989 s/d 30 Maret 1994)
25. Drs. Bambang Pamoedjo (Walikota, 30 Maret 1994 s/d
26. Drs. H. Achmad Ali (Walikota,
27. Kokok Raya, SH, M.Hum. (Walikota,
28. H. Bambang Irianto, SH, MM (Walikota, 29 April 2009 s/d 29 April 2014)
Sumber:
de Graaf, H.J dan Th.G.Th. Pigeaud. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa; Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Terjemahan Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun.
de Graaf, H.J. 1985. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati. Terjemahan Grafiti Pers dan KITLV.
Pemerintah Kota Madiun. 2003. Buku Penetapan Hari Jadi Pemerintah