Di mata pejuang Aceh, marechaussee (baca: marsose) sangat dibenci, tetapi juga dihargai karena keberaniannya. Pasukan ini dibentuk pertama kali semasa Perang Kolonial Belanda di Aceh. Tugasnya adalah untuk melakukan operasi kontragerilya terhadap pejuang Aceh. Karena itu dianggap sebagai pasukan elite pertama yang dimiliki KNIL.
Salah satu kisah tersohor mereka adalah peristiwa kontak senjata dengan pasukan Teuku Umar yang berakhir dengan gugurnya pahlawan kita tersebut. Malam 10 Februari 1899, Letnan J. J. Verbrugh menempatkan detasemen Marsosenya di bawah pohon-pohon di pantai Meulaboh. Mereka ditugaskan untuk memasang jebakan terhadap Teuku Umar yang menurut laporan mata-mata akan melewati tempat tersebut. Sudah hampir 6 bulan lamanya unit-unit Marsose menjelajah rimba dan berkubang di rawa-rawa di pesisir barat dalam mengejar salah satu pemimpin perlawanan Aceh yang terkenal ini.
Setelah beberapa jam menanti, Verbrugh melihat serombongan besar orang Aceh bersenjata campuran menuju ke posisi pasukannya. Jumlahnya ditaksir lebih dari seratusan orang. Para Marsose menunggu barisan terdepan rombongan tersebut memasuki jarak tembak karaben Beaumont mereka. Sementara itu, orang-orang Aceh tidak melihat musuh telah bersiap di depan mereka. Tiba-tiba pada jarak sekitar 100 meter dari posisi Marsose, terdengar letusan serempak karaben Marsose. Rombongan orang Aceh itu masuk perangkap pasukan musuh. Karena panik, rombongan tersebut menjadi kacau-balau, lalu mundur tak teratur sambil melepaskan tembakan balasan secara serampangan. Penghadangan tersebut ternyata menelan korban di pihak Aceh. Terlihat beberapa orang roboh, sedangkan di pihak Marsose tak seorang pun terluka ataupun terbunuh.
Malam itu juga Verbrugh membawa pasukannya kembali ke induk kesatuannya. Ia tak berniat memburu lawannya yang mengundurkan diri itu karena medan tak menguntungkan di samping kalah jumlah. Beberapa hari kemudian diketahui bahwa dalam penghadangan 10 Februari malam tersebut, di antara korban gugur di pihak Aceh terdapat nama Teuku Umar, orang yang paling dicari-cari Belanda dan telah dijejaki selama berbulan-bulan oleh pasukan Marsose. Peristiwa itu dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Marsose.
Pembentukan Korps Marechaussee
Sejak perlawanan gerilya dilancarkan pejuang Aceh, Belanda tidak mempunyai kontrol atas situasi di Aceh, terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi. Pada 30 Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.
Sementara itu, kehandalan kedua detasemen tersebut dan kegigihan gerilyawan Aceh melahirkan kekaguman dan inspirasi pada Mohamad Sjarif, komisaris di kantor Gubernur Sipil dan Militer Aceh, mantan jaksa di Kutaraja kelahiran Minangkabau. Mohamad Sjarif menyarankan kepada pemerintah Belanda supaya membentuk sebuah unit yang terdiri atas orang-orang yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.
Gagasan tersebut disambut oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh Kapten G. G. J. Notten. Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer. Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri lainnya. Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.
Selain itu, struktur organisasi Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada masa kini.Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini setara dengan regu).
Hingga tahun 1904, Korps Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4 brigade.
Keunikan lainnya adalah anggota Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah bumiputra. Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa, Sunda, dan Timor. Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia Belanda yang diskriminatif. Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira. Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.
Setiap anggota Marsose harus memiliki keahlian khusus dan kemampuan individual yang tinggi. Sebab, kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam patroli-patroli mobil, terlebih ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, Marsose sering harus melakukan patroli-patroli jarak jauh menembus hutan belantara atau menyusuri rawa dan pantai untuk menjejaki para pemimpin perlawanan Aceh. Karena diperlukan mobilitas yang tinggi, maka setiap orang harus membawa perbekalan dan memasak makanannya sendiri. Kemandirian ini yang membedakan Marsose dengan kesatuan lainnya. Dalam operasi militer gabungan, sering dijumpai sebuah situasi, pada saat anggota pasukan infantri marah-marah karena barisan tukang masak dan pembawa perbekalan tertinggal jauh, para Marsose sedang memasak makanan mereka. Di samping itu, umumnya para perwira Marsose mampu berbahasa Aceh lengkap dengan dialeknya. Kemampuan berbahasa daerah mutlak diperlukan untuk menggali informasi dari masyarakat.
Selain itu, kesatuan Marsose ini mendapat perlengkapan dan persenjataan yang agak berbeda dengan kesatuan KNIL lainnya. Setiap orang dipersenjatai dengan sepucuk senapan tanpa bayonet, tempat peluru, sebilah kelewang serta diperlengkapi dengan ransel perbekalan. Sejak tahun 1890, kesatuan Marsose sudah dipersenjatai dengan karaben Beaumont Mk I, sejenis senapan repetir (repeater) yang mempunyai tempat peluru berselongsong (magasen). Saat itu Beaumont adalah sejenis senjata modern yang baru dimiliki oleh KNIL. Kesatuan reguler KNIL lainnya pada saat itu masih menggunakan senapan lantak. Kemudian, sejak tahun 1896, kesatuan Marsose mengganti helm besi yang tidak praktis dengan topi rimba dari anyaman bambu. Kelak, topi rimba ini menjadi trend di kesatuan infantri KNIL lainnya.
Sistem pelatihan anggota dibuat sedemikian rupa supaya Marsose mampu melakukan kontragerilya. Setiap anggota Marsose dilatih perkelahian jarak dekat dengan menggunakan kelewang. Latihan ini membuat anggota Marsose umumnya mahir menggunakan pedang atau floret. Kondisi fisik dan stamina mereka juga dibentuk dengan kuat karena mereka harus melakukan patroli jalan kaki jarak jauh. Di samping itu, keahlian membaca jejak pun terus diasah karena diperlukan untuk menjejaki lawan hingga ke sarangnya.
Untuk menumbuhkan kebanggaan pada para Marsose, maka diciptakan simbol-simbol kesatuan, seperti lambang kesatuan dan panji kesatuan. Kesatuan ini memakai lambang trisula berwarna kuning emas yang disematkan pada kraag (kerah) seragam. Orang-orang Aceh menyebutnya dengan “Tiga Jari”.
Para Marsose sangat bangga dengan Korpsnya tersebut. Tidak hanya karena keunikan yang mereka miliki, tetapi juga karena prestasi gemilang dan kisah-kisah keberanian dalam pertempuran turut mengharumkan nama Korps ini. Kebanggaan ini menjadikan kesatuan ini sangat solid dan akan melekat hingga para Marsose pensiun dari dinas militer. Terlebih bagi mereka yang pernah bertugas di Aceh. Pengalaman bertugas di Aceh sangat membekas dalam ingatan veteran Marsose karena beratnya medan perang dan lawan yang harus mereka hadapi. Sering para veteran Marsose ini dalam merayakan ulang tahun Korps Marsose setiap 2 April menghadirkan suasana Aceh untuk bernostalgia, dengan sengaja menyajikan menu hidangan khas Aceh.
Peranan Korps Marechaussee dalam Perang Kolonial di Aceh
Sejak dibentuk pada 2 April 1890 hingga 1896, Marsose lebih banyak bertugas di sekitar Lini Konsentrasi karena periode tersebut masih dalam kebijakan defensif yang berkonotasi menunggu para pejuang Aceh menyerahkan diri ke benteng-benteng di sepangjang lini. Peranan yang lebih luas mulai diberikan pada tahun 1896, ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan setelah Teuku Umar kembali melawan Belanda. Sejak itu marsose melakukan aksinya secara sistematis menurut kebijakan perang kolonial. Kebijakan dalam perang kolonial di Aceh banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa gerakan perlawanan Aceh bersifat tradisional, karena hanya bisa timbul jika dipimpin oleh tokoh masyarakat dari kalangan bangsawan atau pun ulama dan cakupannya lokal. Untuk mematahkan gerakan perlawanan itu, maka pemimpin perlawanan harus dipisahkan dari tubuh kelompoknya.
Karena itu untuk mendapatkan pemimpin perjuangan Aceh, unit-unit marsose bisa selama berbulan-bulan mengejar dan menjejaki kelompok itu. Sering terjadi bahwa akibat tidak tahan dikejar-kejar akhirnya beberapa tokoh pejuang Aceh terpaksa menyerahkan diri. Namun, sering pula para pejuang Aceh memilih berkelahi sampai gugur saat pertempuran dengan unit-unit marsose tidak terelakkan lagi. Berbagai prestasi tersebut mengangkat nama Korps Marechaussee dan menempatkannya sebagai kesatuan elite di jajaran KNIL dan di mata masyarakat Belanda.
Namun tidak semua tindakan Marsose disukai masyarakat Belanda. Sebuah operasi militer dianggap melewati batas, bahkan sebagian masyarakat Belanda menilainya sebagai kekejaman yang memalukan umat manusia di abad ke-20. Operasi militer tersebut dilakukan oleh sebuah pasukan ekspedisi Marsose bernama Kolone Macan pimpinan Letnan Christoffel di daerah Pidie pada tahun 1904.
Peristiwa yang berlangsung di tengah-tengah gencarnya pelaksanaan Politik Ethis itu segera mendapat sorotan dan kecaman dari masyarakat di negeri Belanda. Peristiwa itu dirasakan sangat bertentangan dengan semangat ethis yang ingin mengangkat nasib bumiputera, sementara di saat yang sama pembantaian bumiputera dilakukan di Aceh.
Penyelidikan yang dilakukan akhirnya menyeret dua orang perwira pertama ke hadapan oditur. Proses pengadilan itu rupanya tidak memuaskan salah seorang perwira itu, karena penanggung jawab operasi itu, Kolonel Van Daalen, tidak diadili. Meskipun keputusan pengadilan membebaskan kedua perwira itu dari tuduhan, namun mereka merasa karir militer mereka tidak ada harapan lagi.
Meski dalam komposisi pasukan marsose terdapat unsur pribumi, tetaplah sebagian besar bangsa Indonesia memandang Korps Marsose dibentuk untuk mendukung politik penjajahan. Karena itu banyak pejuang Aceh yang melakukan perlawanan keras terhadap tentara Belanda. Keandalan dan keberanian gerilyawan Aceh dalam pertempuran memang sudah diakui pihak Belanda. Dalam aksinya, gerilyawan Aceh sering melakukan penyerangan terhadap patroli-patroli Belanda dan melakukan perkelahian jarak dekat, dan setelah itu menghilang kembali ke hutan, kadang sambil membawa senjata rampasan dari patroli yang dikalahkan. Korps Marechaussee merupakan salah satu alat kebijakan Belanda dalam mengontrol situasi keamanan di Aceh, sehingga Belanda pada akhirnya dapat mengurangi perlawanan besar bersenjata dari pejuang Aceh. Tetapi perlawanan kecil yang bersifat sporadis tetap berlangsung sampai berakhirnya kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya kembali di Aceh.
(Dari berbagai sumber)