Senin, 07 Juni 2010

Sekilas Riwayat Kota Madiun

Pada 20 Juni 2010 Kota Madiun memperingati hari jadi ke-92 sebagai wilayah swapraja. Meskipun belum genap satu abad, perjalanan sejarahnya telah berlangsung selama lebih dari empat ratus tahun, melintasi masa pemerintahan Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram, Hindia Belanda, pendudukan militer Jepang sampai Republik Indonesia.

Madiun dalam genggaman Pajang dan Mataram
Penaklukan Kerajaan Gagelang oleh Sultan Trenggana dari Demak pada tahun 1529, mengawali masa kekuasaan politik bercorak Islam atas wilayah Madiun. Gagelang dapat disamakan dengan Madiun sekarang. Saat ini terdapat sebuah desa yang bernama Glonggong di Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Nama desa itu boleh diduga sebagai perubahan bentuk kata dari Gagelang.

Kesuksesan penaklukan Gagelang berkaitan erat dengan kefanatikan dan semangat untuk menyebarluaskan agama Islam. Latar belakang tersebut mendorong kalangan sipil Demak, seperti alim ulama, perajin, dan pedagang untuk memasuki dinas militer atau membentuk kelompok-kelompok bersenjata. Para penghulu, yang berfungsi sebagai pemangku hukum syariat dan imam masjid, juga membentuk kelompok bersenjata. Keuntungan dari masuknya para kiai dalam dinas militer adalah hukum syariat dan fungsi imam masjid dapat segera dijalankan di daerah-daerah yang baru ditaklukkan. Boleh jadi hal ini yang melatarbelakangi pengangkatan Kiai Reksa Gati sebagai wakil Kesultanan Demak di Madiun. Selanjutnya Kiai Reksa Gati membangun pusat kegiatannya di sebuah tempat di tepi barat Kali Madiun, sekitar 3-4 Km dari Kota Madiun. Tempat itu dikenal dengan nama Sogaten, yang berarti kediaman Reksa Gati. Sekarang tempat tersebut merupakan bagian dari Kelurahan Sogaten, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.

Selama hampir 40 tahun lamanya Kiai Reksa Gati menjadi pengawas dan mensyiarkan agama Islam di wilayah Madiun. Ketika Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546, timbul persaingan mengejar kekuasaan tertinggi di antara dua raja bawahan Demak, yaitu Raja Pajang, Jaka Tingkir (menantu Sultan Trenggana) dan Raja Jipang, Aria Penangsang (kemenakan Sultan Trenggana). Namun Kiai Reksa Gati tetap bersikap netral. Persaingan itu dimenangkan Raja Pajang. Selanjutnya Pajang menegakkan kekuasaan atas kerajaan-kerajaan bawahan Demak lainnya. Kerajaan bawahan atau lainnya yang menolak mengakui kekuasaan Pajang, ditaklukkan dengan kekerasan.

Pada masa kekuasaan Pajang inilah untuk pertama kalinya dibentuk pemerintahan kabupaten di wilayah Purabaya (secara kronologi, Purabaya adalah nama pertama yang digunakan untuk wilayah Kabupaten Madiun). Pada 18 Juli 1586 Sultan Pajang mengangkat adik iparnya, Pangeran Timur (putra bungsu Sultan Trenggana) sebagai Bupati Purabaya. Selain itu Bupati Purabaya juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati Mancanegara Timur (pimpinan para bupati bawahan Pajang di wilayah timur). Berakhirlah tugas Kiai Reksa Gati sebagai pengawas wilayah Madiun.

Kekuasaan Pajang atas Purabaya berakhir ketika Mataram menguasai Purabaya. Awalnya Mataram merupakan wilayah kekuasaan Pajang. Ketika kepala daerah Mataram, Ki Gede Mataram wafat, dan kemudian Sutawijaya, salah seorang putra Ki Gede Mataram, ditunjuk sebagai pengganti oleh Sultan Pajang, Mataram mulai menunjukkan sikap ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Bahkan Sutawijaya, yang mendapat gelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” dari Sultan Pajang, berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar. Senapati melakukan perlawanan terhadap Pajang, dan berhasil menduduki keraton Pajang pada tahun 1587. Sejak itu Mataram terus melakukan ekspansi ke kerajaan-kerajaan bawahan Pajang dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Dalam eskalasi situasi menuju pecah perang antara Purabaya dan Mataram, Pangeran Timur menyerahkan kepemimpinan tentara Kabupaten Purabaya kepada anak perempuannya, Retno Dumilah. Di bawah pimpinan Retno Dumilah, tentara Purabaya bergabung bersama tentara sekutu dari eks-Mancanagara Timur, yaitu Kabupaten Surabaya, Ponorogo, Pasuruhan, Kediri, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo, Blitar, Trenggalek, Tulung, Jagaraga dan Caruban.
Berkumpulnya pasukan eks-Mancanegara Timur di Purabaya tersebut dilatarbelakangi perubahan hegemoni politik Pajang pasca wafatnya Sultan Trenggana. Menjelang runtuhnya kekuasaan Pajang, kerajaan-kerajaan di Mancanegara Timur melepaskan diri dari Pajang menjadi kerajaan merdeka. Sementara itu Mataram aktif berekspansi hingga menguasai daerah Warung (Blora). Capaian Senapati di Blora membuat Purabaya merasa terancam, sedangkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur melihatnya sebagai pangkal gerakan Senapati untuk menyerang Jawa Timur. Karena itu permintaan bantuan Bupati Purabaya kepada kerajaan-kerajaan di Jawa Timur untuk menghadang laju ekspansi, atau bahkan bila mungkin menghancurkan kekuatan Mataram, disambut baik. Terjadilah konsentrasi pasukan Jawa Timur di Madiun.

Di bawah pimpinan Retno Dumilah, pasukan gabungan Purabaya dan eks-Mancanegara Timur dapat melakukan pertempuran berlarut-larut. Namun dengan siasat yang lebih unggul, Senapati dapat mengalahkan mereka, dan Retno Dumilah menjadi tawanan.

Sebagai simbol kemenangan Mataram atas Purabaya, Senapati mengganti nama Purabaya menjadi Madiun pada 16 November 1590. Kemudian, untuk memperkuat legitimasinya atas Madiun, Senapati melakukan perkawinan dengan Retno Dumilah. Perkawinan politik itu menyebabkan derajat kebangsawanannya terangkat ke tingkat teratas karena menikahi cucu Sultan Trenggana.

Madiun dalam Kekuasaan Belanda
Pada masa pemerintahan Mataram, Kabupaten Madiun termasuk wilayah yang setia, tetapi antipati terhadap kekuatan asing (Belanda) yang ingin menguasai Jawa. Dalam sejarah, Madiun bersimpati pada perlawanan Trunojoyo terhadap Susuhunan Amangkurat I yang bekerja sama dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie/Perhimpunan Perusahaan India Timur), dan perlawanan Untung Suropati terhadap VOC.

Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 memecah Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Kabupaten Madiun menjadi bagian dari wilayah Yogyakarta. Dalam periode pemerintahan Kesultanan Yogyakarta ini pecah Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Kabupaten Madiun berpihak kepada Pangeran Diponegoro. Karena itulah seusai perang Kabupaten Madiun ditempatkan di bawah administrasi pemerintah kolonial Belanda, dan tidak lagi menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta. Pada 1 Agustus 1830 dibentuk Keresidenan Madiun dengan wilayah meliputi Kabupaten Madiun dan bekas Mancanegara Timur.

Di tangan pemerintah kolonial Belanda, liberalisasi diberlakukan di Pulau Jawa. Modal asing memasuki Kabupaten Madiun, kebanyakan dalam sektor industri gula. Saat itu gula menjadi primadona komoditas ekspor karena harganya tinggi di pasar dunia. Kondisi ini mendorong orang-orang Eropa lainnya dari berbagai profesi datang ke Kabupaten Madiun, termasuk ke ibukota Kabupaten Madiun. Jumlah penduduk dan luas wilayah hunian di ibukota Kabupaten Madiun makin berkembang. Berbagai infrastruktur dan fasilitas kota dibangun. Lambat laun penduduk Eropa merasa memerlukan sebuah wilayah yang dapat dikelola secara otonom.

Nama Madiun sebagai Kabupaten dan Swapraja
Sejalan dengan keluarnya Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 dan Gemeente Ordonnantie (Peraturan Gemeente) pada tahun 1906, wilayah kota yang dihuni mayoritas penduduk Eropa dan telah memenuhi persyaratan tertentu, mendapat status Gemeente (kotapraja) yang setingkat dengan kabupaten. Beberapa persyaratan tersebut, antara lain memiliki wilayah yang tetap, penduduk cukup banyak, fasilitas yang dibutuhkan warga
kota telah terpenuhi, dan adanya penguasa yang dapat menyelenggarakan pemerintahan. Gemeente merupakan daerah otonom yang berhak untuk mengatur dan mengurus beberapa bidang yang berkaitan dengan urusan internal daerah.

Secara implisit pembentukan gemeente bertujuan untuk memelihara kepentingan orang Eropa, khususnya Belanda. Sebagai orang asing, mereka membutuhkan tempat yang disesuaikan dengan lingkungan asalnya dan memerlukan aturan yang khusus dalam sistem pemerintahannya. Dengan demikian gemeente dapat disebut sebagai een westerse enclave (sebuah kantong masyarakat Barat).

Pembentukan Gemeente Madiun ditetapkan Gubernur Jenderal J. van Limburg Stirum atas nama Ratu Belanda dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) nomor 326 tanggal 20 Juni 1918. Dengan demikian untuk pertama kalinya terbentuk pemerintahan swapraja Kota Madiun yang terpisah dari Kabupaten Madiun.

Pemerintahan Gemeente dipimpin Burgemeester (walikota). Namun karena jabatan Burgemeester belum dibentuk, maka pada awal berdirinya Gemeente Madiun dipimpin oleh Asisten Residen Madiun, Ir. W.M. Ingenluyff, dan dilanjutkan oleh Mr. De Maand. Pada tahun 1927 baru terbentuk burgemeester yang dijabat oleh Mr. R.A. Schotman sampai tahun 1932. Pada masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945), status kotapraja dipertahankan, tetapi nama kotapraja diubah ke dalam bahasa Jepang menjadi “Syi”, sedangkan jabatan walikota disebut syicho. Status kotapraja ini dilanjutkan pada masa Republik Indonesia dengan beberapa perubahan nama, yaitu Kota Besar (UU No. 22 Tahun 1948), Kotapraja (UU No. 1 Tahun 1957), Kotamadya (UU No. 18 Tahun 1965), Kotamadya Daerah Tingkat II (UU No. 5 Tahun 1974), dan Kota (UU No 22 Tahun 1999).

Nama-nama kepala daerah Kota Madiun sejak masa Hindia Belanda sampai tahun 2010 adalah sebagai berikut:
1. Ir. W.M. Ingenluyff (Asisten Residen, 1918)
2. Mr. De Maand (Asisten Residen)
3. Mr. R.A. Schotman (Burgemeester, 1927 s/d 1932)
4. Mr. Boerstra (Burgemeester, 1932)
5. Mr. Van Dijk (Burgemeester) dan Ali Sastroamidjojo (Loco Burgemeester)
6. Dr. Mr. R.M. Soebroto (Syicho, 1942 s/d 1945)
7. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo (Walikota)
8. Soedibjo (Walikota)
9. R. Poerbosisworo (Walikota)
10. Soepardi (Walikota)
11. R. Mochamad (Walikota, 1948 dari Divisi Siliwangi)
12. R.M. Soediono (Walikota)
13. R. Singgih (Walikota)
14. R. Moentoro (Walikota)
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo (Walikota)
16. R. Soepardi (Walikota)
17. Soemadi (Walikota)
18. Joebagjo (Walikota)
19. R. Roekito, B.A. (Walikota)
20. Drs. Imam Soenardji (Walikota, 13 November 1968 s/d 19 Januari 1974)
21. Achmad Dawaki, B.A. (Walikota, 19 Januari 1974 s/d 19 Januari 1979)
22. Drs. Marsoedi (Walikota, 20 Januari 1979 s/d 20 Januari 1984)
23. Drs. Marsoedi (Walikota, 20 Januari 1984 s/d 20 Januari 1989)
24. Drs. Masdra M. Jasin (Walikota, 20 Januari 1989 s/d 30 Maret 1994)
25. Drs. Bambang Pamoedjo (Walikota, 30 Maret 1994 s/d 7 April 1999)
26. Drs. H. Achmad Ali (Walikota, 7 April 1999 s/d 29 April 2004)
27. Kokok Raya, SH, M.Hum. (Walikota, 29 April 2004 s/d 29 April 2009)
28. H. Bambang Irianto, SH, MM (Walikota, 29 April 2009 s/d 29 April 2014)

Sumber:
de Graaf, H.J dan Th.G.Th. Pigeaud. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa; Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Terjemahan Pustaka Utama Grafiti dan KITLV. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun.

de Graaf, H.J. 1985. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati. Terjemahan Grafiti Pers dan KITLV. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Pemerintah Kota Madiun. 2003. Buku Penetapan Hari Jadi Pemerintah Kota Madiun. Madiun: Pemerintah Kota Madiun.